Lembaga
penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam
kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Memiliki kebebasan dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.
Siaran yang dipancarluaskan menggunakan
fasilitas public ini, dapat diterima dalam waktu yang bersamaan, serentak dan
bebas. Akan memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan
perilaku khalayak. Seyogyanya, lembaga penyiaran penyiaran wajib bertanggung
jawab dalam menjaga nilai-nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan
kesatuan bangsa.
Bila
dihubungkan dengan kejadian yang marak saat ini, seperti tawuran antar pelajar
yang mengakibatkan korban jiwa, pelecehan seksual dan tindak kekerasan yang
melanggar hukum, dilakukan oleh pelajar. Apakah ada pengaruh tontonan televisi
terhadap perubahan perilaku pelajar?
Anak-anak
dan pelajar adalah salah satu sasaran pasar yang produktif untuk menyajikan
program siaran melalui tontonan yang saat ini lebih besar kurang memperhatikan
bagaimana cara membentuk sikap yang sarat dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
Baru-baru
ini kita diakrabkan dengan pemberitaan
tentang penyerangan antar SMAN 6 dan SMAN 70 di daerah Jakarta. Akibat
kejadian ini satu orang siswa meninggal dari SMAN 6. Hal ini akan mengakibatkan
luka mendalam bagi kedua orang tuanya, karena kehilangan anak kesayangan
lengkap dengan segala harapan pada masa depannya. Berdasarkan kejadian tersebut
tentunya menjadi banyak koreksian kegagalan pembinaan sikap mental, apakah
kurang dari lingkungan tempat tinggal, sekolah atau ada pengaruh eksternal lain
yang dapat mempengaruhi sikap seseorang.
Mengapa media
televisi dapat mepengaruhi sikap dan perilaku khususnya pelajar?. Secara
disadari atau tidak media televisi turut
mensosialisasikan tindakan kekerasan, seperti publikasi teroris yang
berlebihan, tawuran yang terjadi di beberapa daerah lain dengan memperlihatkan
adegan tindakan brutal bagaimana cara menghancurkan dan membakar. Kejadian kekerasan seperti pembunuhan/bunuh
diri digambarkan secara detail, sehingga membuat penonton mempelari
langkah-langkah pembunuhan dengan mudah.
Ekspose palaku kejahatan yang berlebihan. Tidak salah, adanya anggapan bahwa
televisi dapat mempengaruhi sikap pelajar, karena televisi merupakan sosial
media yang paling akrab dan dekat di masyarakat, selain daya tariknya yang
memikat.
Ibaratkan
restoran padang yang menyajikan aneka makanan untuk disajikan, begitu juga
televisi menyajikan apa saja dan
memuntahkannya untuk ditonton. Mulai dari kekerasan, kehidupan yang
bermewah-mewah, pemberitaan yang tidak berimbang, sinetron yang sarat dengan
pembodohan dan menjual mimpi, tayangan menyesatkan, reality show kacangan
hingga infotainment mengadu domba.
Bahaya tontonan kekerasan pada pelajar
Fakta yang
menyebabkan penyebab kejadian diatas adalah terbiasanya pelajar/generasi muda
disajikan dengan tontonan kekerasan pada media televisi. Terkadang menampilkan kekerasan
sebagai salah satu jalan keluar dari penyelesaian dalam masalah. Maka, akan
timbul pemikiran siapa yang kuat dialah yang menang. Televisi dalam
penyampaiannya lebih menyorot pada kejadian yang anarkis, aksi yang brutal
untuk di tampilkan di televisi, dengan beralibi ini adalah bagaian dari
jurnalistik! Ada banyak cara yang bisa dipilih media, agar lebih santun dalam
mempaikan suatu program. Penggalian akar dari suatu masalah disertai dengan
solusinya.
Pengaruh
buruk tontonan TV pada pelajar, dimulai dari kebiasaan sedari kecil untuk
mengkonsumsi TV, anak dibawah dua tahun yang dibiarkan orang tuanya menonton TV
bisa mengakibatkan proses wiring, yaitu proses penyambungan antara sel-sel
saraf dalam otak menjadi tidak sempurna (Wirodono, 2005). Padahal anak-anak
yang menonton TV tidak selalu mempunyai pengalaman empiris sehingga gambar televisi
mengeksploitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi. JIka
perilaku positif yang ditiru, tentunya ini tidak akan menjadi suatu masalah.
Tetapi anehnya, perilaku negatif yang lebih menarik bagi anak-anak/pelajar.
Contohnya adalah adegan anti sosial yang kadarnya lebih dari 35% berada dlm
sebuah tontonan/film.
Kekerasan
biasanya akan disertai pornografi, kalau kita teliti maka kedua unsur tersebut
memiliki porsi besar, apalagi dalam film laga (hero) yang menjual seputar
kekerasan. Selain itu dapat juga dijumpai dalam film kertun, film lepas, serial
dan sinetron. Tidak luput juga pada berita, khususnya berita kriminal. Sangat
jelas dan vulgar dalam menampilkan korban kekerasan. Seperti menampilkan korban
kekerasan secara close-up, darah-darah yang berceceran, lho kanapa seperti ini
yang mesti tampilkan?. Kenapa bukan
penyebabnya, tindakan antisipasi dan tindak lanjut untuk mengatasi kekerasan
itu yang menjadi fokus pemberitaan. Bisa dibayangkan jika anak-anak dan pelajar
menonton tontonan ini.
Bahaya
Kekerasan pada tontonan seperti yang saya tuliskan diatas (memiliki sikap anti
sosial) juga dapat akan menimbulkan perilaku agresif (agresor) pada anak-anak
dan remaja meningkat. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor
(CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17 tahun.
Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56%
responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup
mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Tontonan dan Culture
Proses dari
sekedar menonton TV untuk dapat berubah menjadi suatu perilaku membutuhkan
waktu yang cukup panjang/simultan. Menjadi permasalahan jika yang disajikan
adalah padat dengan unsur kekerasan sepanjang hari, sehingga menjadi terbiasa.
Bukankah biasa karna terbiasa?. Apalagi jika kondisi lingkungan mendukung. Saya
ambil contoh jika kita sehari saja menonton film laga dan sinetron, yang
durasinya + 3 jam. Seminggu menjadi 21 jam, sebulan 90 jam. Jika ini
menjadi ‘makanan’ rutin, maka pola sikap penonton apakah “tidak apa-apa”?. Anak
belajar untuk tidak menyukai dan memukul sebagai bentuk ia tidak menyukai, dan
hal itu di jadikan hal yang biasa. Suka melanggar aturan, menjadi orang yang
suka marah dan keinginan hidup bermewah-mewah.
Solusi yang
dapat ditawarkan disini adalah sangat menarik jika kebiasaan menonton TV
disertai pengawasan dari orang tua. Pengawasan bisa dimulai dari mengenal
teman-teman anak, bersama-sama menonton di depan TV sekaligus memberikan
penjelasan pada tontonan yang ditonton, membatasi tontonan TV dengan membuat
kesepakatan bersama anak dalam batasan menonton TV. Sangat percuma jika kita
batasi di rumah saja, dimana ada orang tua yang mengawasi. Bukankah tontonan
dapat diakses dari mana dan kapan saja, lewat hp atau gadget yang bertebaran
dan murah untuk dimiliki. Sekali lagi kepercayaan yang dibangun atas
kesepakatan bersama orang tua dan anak dalam menonton tontonan dibutuhkan. Ingat,bukankah
kalau orang tua sudah membuat kesepakatan dengan anak, maka orang tuapun harus
memberikan contoh yang sesuai?.
Selain dari
dalam diri penonton, akan lebih bijak dan arif bila lembaga penyiaran,
menyiarkan program acara yang tidak saja mementingkan komersil belaka. Dengan kejadian
kekerasan yang marak terjadi dikalangan pelajar, besar harapan saya lembaga
penyiaran nasional dan Jambi (khususnya) dapat lebih kreatif untuk memproduksi
siaran dengan memperhatikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran yang merupakan turunan dari Undang-undang penyiaran. Lembaga penyiaran
dapat membuat program yang memberikan wadah buat pelajar dan ruang informasi
dan pendidikan yang bermutu buat generasi muda. Selain itu tak kalah penting
adalah peran serta masyarakat dalam mengawasi siaran televisi, jika dalam
siarannya terdapat tontonan yang merugikan dan meresahkan masyarakat dapat
mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan
melalui Komisi Penyiaran Indonesia. ****
Penulis
Novi Ariyani, S.Pd
Komisioner Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah Jambi
Koordinator Bidang Kelembagaan
0 komentar:
Posting Komentar