BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah persoalan yang melekat secara kodrati didalam diri manusia. Pendidikan tersebut diseluruh sector kegiatan kehidupan masyarakat, baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal. Ketika manusia berinteraksi dengan dirinya, disitulah ada pendidikan. Kita berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, disitulah ada pendidikan. Sekolah merupakan salah satu tempat berinteraksinya manusia satu dengan yang lainnya.
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pernyataan ini terkadang berbanding terbalik dengan beberapa kondisi pendidikan yang ada di Indonesia. Masih terdapat rakyat Indonesia yang belum bisa menikmati pendidikan yang layak. Masalah ekonomi adalah faktor penyebab utama sehingga pendidikan dianggap mahal di sebagian masyarakat. Wajar jika ada paradigma di masyarakat pendidikan saat ini bersifat matrealistis.
Dapat dicontohkan antara pendidikan dan manusia bagaimana wadah dengan isinya. Tujuan pendidikan juga menjadi tujuan manusia itu sendiri. Murupakan suatu kodrat antara pendidikan dan manusia, pada taraf eksistensial. Pendidikan disekolah merupakan tempat untuk penyebaran nilai-nilai kultural yang telah membenih dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang heterogenisasi dengan keanekaragaman, harus memiliki pandangan kehidupan utk mewujudkan nilai kehidupan yang sesungguhnya, berdasarkan ideologi negara, yaitu pancasila.
Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis mencoba menuliskan hubungan filsafat idealisme dan filsafat matrealistis dalam pendidikan yang terdapat disekolah. Dapat dicontohkan dengan fakta yang terjadi saat ini dikehidupan manusia.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk :
1. Memahami filsafat ideologi dan filsafat matrealistis
2. Mengetahui pandangan filsafat ideologi dan filsafat matrealistis pendidikan yang terjadi sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Idealism Pendidikan dan Filsafat Matrealistis Pendidikan
2.1.1 Filsafat Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dan dalam masyarakat sebagai keseluruhan.
2.1.2 Filsafat Matrealistis
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi.
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural (menurut Demokrotis). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
2.2 Pandangan Filsafat Ideologi dan filsafat Matrealistis Pendidikan yang Terjadi Sekolah
2.2.1 Pandangan Filsafat Ideologi Pendidikan yang Terjadi Sekolah
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan .(approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
2.2.2 Pandangan Filsafat Matrealistis Pendidikan yang Terjadi Sekolah
Materialisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Rahkan menurut Henderson (1959), materialisme belum pemahaman menjadi pentir dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materalisme lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara faktual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidkan dan mengutamakan sains pendidikan. Sains pendidikan sangat berguna dalam penelitian-penelitan ilmiah, yang berupaya memeriksa (memverifikasi) berbagai hipotesis hubungan antarfaktor (antarvariabel). Sains pendidikan yang dipergunakan dalam mempelajari pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, ialah berdasarkan pada hasil temuan dan kajian ilmiah dalam psikologi, yaitu psikologi aliran “behaviorisme”.
Menurut behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik, yang menipakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang berada di luar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan terutarna dalam teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh EL. Thorndike dan B.F. Skinmer.
Pendidikan, dalam hal ini proses belajar, merupakan proses kondisionisasi lingkungan, misalnya dengan mengadakan percobaan terhadap anak yang tidak pernah takut pada kucing, akhirnya ia menjadi takut kepada kucing.
Pendidikan, dalam hal ini proses belajar, merupakan proses kondisionisasi lingkungan, misalnya dengan mengadakan percobaan terhadap anak yang tidak pernah takut pada kucing, akhirnya ia menjadi takut kepada kucing.
Dengan percobaan ini, pengikut behaviorisme ingin menunjukkan bahwa manusia dapat dibentuk. Menurut behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan. Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang berubah, dapat diamati, dan dapat diukur (Materialisme dan posi tivisme). Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidkan (proses belajar) menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar.
Sebagai aliran yang dilandasi positivisme dan matebehaviorisme mengabaikan faktor intrapsikhis.
Sebagai aliran yang dilandasi positivisme dan matebehaviorisme mengabaikan faktor intrapsikhis.
Hal ini beraru dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misainya harapan siswa, potensialitas siswa, kemauan siswa, dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal, dalam arti ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan factor internal siswa yang belajar.
Henderson memberikan kritik pada materialisme, dengan mengemukakan bahwa secara filosofi maupun psikologis, materialisme tidak memadai, karena tidak mungkin menerangkan bagaimana materi dalam gerak dapat berubah menjadi kesusilaan, nilai-nilai spirtual, aktivitas kreatif dari akal itu sendiri. Keberatan lain terhadap behavionisme yang dilandasi materialisme adalah karena behaviorisme menerangkan segala sesuatu secara mekanistis. Manusia merupakan mesin reaksi, sehingga pendidikan hanyalah soal mempengaruhi refleks dan perbuatan saja, yaitu perilaku yang hanya dapat diamati dan dapat diukur. Behaviorisme sama sekali tidak memberikan perhatian terhadap penghayatan seseorang tentang nilai-nilai, melainkan bagaimana perbuatan dan keterampilan dalam menampilkan nilai tersebut.
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme behavionsme yang bersurnber pada filsafat meterialisme, sebagai berikut:
1) Tema Manusia yang baik dan efisien dahasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2) Tujuanpendidikan. Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tangungjawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3) Kurikulum Isi. pendidikan mencak pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4) Metode. Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.
5) Kedudukan siswa. Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.
6) Peranan guru. Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Aliran idealism memandang anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual.
2. Filsafat kehidupan idealisme dan materialistik tidak bias lepas dari kehidupan manusia
3. Saat ini telah terjadi pergeseran nilai dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari yang sebenarnya menjadi kondisi negatif.
REFERENSI
Sadulloh Uyoh, 2009. Pengantar Filsafat PEndidikan. Alfabeta. Bandung
Suhartono Suparlan, 2009. Filsafat Pendidikan. Cetakan ke IV. Ar-Ruzza Media. Jogyakarta
Wakhudin dan Trisnahada. Filsafat Naturalisme. (Makalah) Bandung: PPS-UPI Bandung
0 komentar:
Posting Komentar