Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

UN dan KONSTRUKTIVISME

UJIAN NASIONAL DENGAN KONSTRUKTIVISME

Oleh :
Novi Ariyani. S.Pd
 Posted on Jambi Ekspress, 2009.


          Membaca judul diatas tentunya akan membawa kita kepada pengertian konstruktivisme yang berhubungan dengan mutu pendidikan. Kalaulah dahulunya kita diakrabkan dengan teori behaviorisme yang biasanya diterapkan pada anak didik kita, maka sejalan dengan perkembangan zaman teori tersebut mengalami suatu pergeseran ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Seorang guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.   

          Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah: “pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas, 2003:11)
         
          Di dalam kelas, implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning). Untuk menciptakan situasi yang diharapkan, pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis), diantaranya: Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar dan dapat menumbuhkan motivasi siswa (Slamet. 1987).

          Dengan memberikan siswa sebagai pelaku aktif untuk mendapatkan informasi dalam pembelajaran, dan dibantu dengan peran aktif guru yang bisa memenej situasi sehingga kondisi belajar agar menjadi menyenangkan. Peran aktif siswa akan memberikan pengaruh secara fisik maupun mental untuk menghadapi tes akhir (seperti UN) agar memperoleh nilai yang memuaskan. Bukankah saat ini standar nilai ujian nasional, naik?. Pihak sekolah sudah menyiapkan berbagai langkah persiapan untuk menghadapi ujian nasional tahun ini, maka guru sebagai fasilitator didalam kelas dapat menerapkan teori  konstruktivisme.
         
          Variasi metode pembelajaran mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima, sehingga kelas menjadi hidup, karena metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa. Sedangkan pemberian motivasi kepada siswa sangat berperan pada kemajuan dan perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar denga tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan bersemangat. Kita yakin pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan kita masih banyak menjumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.

          Dari permasalahan yang ada, kita akan coba mengaitkannya dengan mutu yang akan dihasilkan nantinya. Sebelumnya dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeloders mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pembelajaran di sekolah terutama guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) karena bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa, dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus. Dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah, selalu dibebankan kepada guru. lalu bagaimana kesiapan unsur-unsur tersebut dalam peningkatan mutu proses pembelajaran ?

            Kenyataan ini dapat kita lihat pada saat sekarang, dimana siswa akan dihadapkan pada ujian akhir sekolah (UAS) yang akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan lagi. Begitu gencarnya pihak sekolah untuk menyiapkan kemampuan anak didiknya agar siap pada saatnya nanti.

          Kembali kita kepada konteks yang saya bicarakan, tentunya setelah kita sama-sama memahami tentang teori konstruktivisme diatas, apakah yang dilmaksud dengan mutu pendidikan disekolah? Dalam pandangan Zamroni (2007) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.

          Secara garis besar ada dua faktor secara umum untuk meningkatkan mutu sekolah, yaitu faktor yang berasal dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Secara internal dipengaruhi oleh (1) kepemimpinan kepala sekolah yang memiliki visi dan misi di sekolah yang dipimpinnya, sehingga ia dapat tahu secara jelas tujuan yang akan dilakukannya. Selain itu mempunyai hubungan yang kompak dengan teman sekerjanya. (2) guru, sebagai pengajar sebaiknya dapat meningkatkan kompetensi / kemampuannya dalam mengajar, dengan mengikuti berbagai seminar, pelatihan-pelatihan, KKG dan sejenisnya. (3) siswa, mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa dengan melakukan beberapa pengembangan diri. (4) kurikulum yang dipakai oleh sekolah tersebut apakah tepat dan cocok untuk diterapkan dengan memperhatikan kebutuhan yang diinginkan.

          Sedangakan faktor eksternal dapat ditunjang dari (1) pemerintah, yang dapat memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan, dengan memlaksanakan beberapa program pemerintah dibidang pendidikan. (2) masyarakat sekitar, terciptannya kerja sama yang tidak terbatas atas masyarakat dan orang tua tetapi juga dengan organisasi-organisasi atau instansi yang dapat menerima dalam dunia kerja.

          Perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan (kepsek) dan karyawan (guru) sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork) yang saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals) akan tercipta dengan baik.
         
          Untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan, teori konstrutivisme adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dan menempatkan guru sebagai fasilitatornya. Adanya usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar/proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan. Tentunya masih banyak teori/pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita.

0 komentar:

Posting Komentar