Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

KONSEP BELAJAR


 Pendefinisian Konsep
Konsep adalah bagian yang sangat penting dalam mempelajari dunia kita. Konsep memiliki kemampuan mengelompokkan obyek, event, atau gagasan dengan karakteristik umum, Konsep memungkinkan kita menyederhanakan, mengkategorisasikan serta menghadapi keragaman sekitar kita.
Pendefinisian konsep didasarkan pada:
1. Respon tampak pada: kemampuan deskriminasi yang artinya mampu memberikan berbagai contoh; yang tak dilihat sebelumnya. Misalnya, di mana seorang pengendara secara konsisten berhenti di semua traffic light pada saat menyala merah, ia mungkin berkata memiliki konsep “berhenti” bagaimanapun ia bisa mengatakan, menulis, atau memahami label verbal. Definisi ini menegaskan perbedaan fundamental antara hafalan dan konseptualisasi. Proses hafalan bisa mencakup pengenalan obyek khusus, atau asosiasi label kata khusus dengan label satu obyek, sedangkan konsep pembentukan melibatkan label umum untuk berbagai kelompok obyek.
2. Stimulus, tampak pada kemampuan membedakan contoh dan non contoh. Misalnya, ”persegi” bisa didefinisikan sebagai ”gambar geometri tertutup yang memiliki empat sisi yang sama dan empat sudut yang sama.” Konsep harus dioperasionalkan sebagai kemampuan menyatakan definisi atau mengenal dan mengidentifikasi secara benar gambar geometri yang menunjukkan atribut stimulus di atas. Definisi konsep ini adalah fungsional bagi desainer karena menunjukkan apa yang harus dihadirkan pebelajar, yakni, kriteria atribut yang membedakan contoh-contoh dari non contoh konsep (gambar, tertutup, empat sisi yang sama, sudut yang sama). Dengan demikian, inilah atribut yang sangat memberi stimulus yang harus ditekankan desainer.

Tiga Tahapan Penguasaan Konsep
Proses analisis konsep bisa mulai dengan formal atau definisi kamus, tetapi harus melangsungkan paling tidak tiga langkah berikut ini:
1. Mengekstrak kriteria atribut dari definisi tersebut, yakni gambar tertutup, empat sisi yang sama, empat sudut yang sama.
2. Memeriksa (lebih disukai dengan pebelajar yang tak dibuat-buat) apakah atribut itu adalah perlu dan cukup untuk membedakan secara reliable contoh-contoh dari non-contoh, yakni, persegi empat dengan segi tiga, parallelograms, dll.
3. Mempertimbangkan apakah atribut lain (atau sekelompok lebih kecil atribut di atas) akan cukup.
Langkah-langkah di atas mencerminkan skeptisme yang memadai mengenai sebagian desainer instruksional relatif pada definisi tradisional yang diberikan dalam teks dan kamus, baik dengan referensi kepada apakah mereka berfungsi (memberi dasar yang reliable untuk mengidentifikasi contoh-contoh) dan dengan referensi apakah mereka adalah ekonomis (memberi dasar paling sederhana atau paling mahal/efektif untuk mengidentifikasi contoh).
Misalnya, Markle dan Tiemann (1974) melakukan analisis konsep ”morfem” yang menghasilkan delapan atribut (langkah satu di atas). Analisis dan pengujian selanjutnya (langkah dua) menunjukkan bahwa enam atribut adalah tidak relevan dan hanya dua yang criterial. Analisis selanjutnya (langkah tiga) menunjukkan bahwa penambahan satu kriteria atribut secara signifikan meningkatkan akurasi konsep pebelajar, yakni, keterampilannya dalam membedakan contoh morfem dari non-contoh.
Yang dinyatakan secara tidak langsung dalam langkah ketiga adalah fakta bahwa hubungan pertama pebelajar dengan konsep tidak dimaksudkan untuk pemahaman yang lengkap.* Konsep harus dibangun secara khusus sepanjang kurikulum, musalnya perbaikan berkali-kali kapasitas belajar dan perlunya pengembangan. Konsep awal bisa diajarkan relatif pada konteks lokal yang mana akan dilakukan pebelajar. Misalnya, beberapa atribut formal konsep “serangga” (exo-skeleton, tiga bagian utama tubuh, enam kaki, dll).

Macam-Macam Konsep
Beberapa konsep adalah sebagai berikut:
1. Conjuntive concepts –didefinisikan dengan ”dan,” dengan atribut dan ini bahwa satu dan serta dan yang lain, misalnya atribut contoh yang umum. Misalnya, ”apel” bisa didefinisikan dengan atribut-atribut misalnya : buah yang enak dimakan dan dari pohon sumber dan kebulat-bulatan dan biasanya kemerah-merahan.
2. Disjunctive concepts –definisikan dengan ”atau,” yakni., misalnya memiliki baik satu atribut (atau sekelompok) maupun atribut lain (atau sekelompok). Misalnya, ”menendang” dalam olah raga baseball bisa didefinisikan sebagai: ayunan adonan atau panggilan wasit atau pukulan berulang-ulang di luar garis dasar.
3. Relational concepts –definisikan dengan hubungan antara atribut-atriut daripada dengan kehadirannya atau ketiadaannya. Misalnya, ”gunung” bisa didefinsikan sebagai ketinggian permukaan bumi yang lebih besar dibanding bukit dan lebih tidak seragam dibanding dataran tinggi.

 Prinsip Belajar Konsep
Prinsip belajar konsep diantaranya:
1. Konsep Conjuntive adalah konsep yang paling mudah dicapai, kemudian relational concepts, dan disjunctive concepts agak dengan mudah dicapai.
Untungnya, sebagian besar dalam subyek sekolah adalah conjunctive dan karena itu, relatif diterima pada pengajaran dan belajar.
2. Konsep obyek konkret muncul lebih mudah dibentuk dibanding beberapa konsep yang lebih abstrak, misalnya konsep bentuk spasial dan bilangan.
Bagaimanapun perbedaan ini bisa diatributkan pada perbedaan fundamental dalam konsep konkret vs. Abstrak adalah tidak jelas. Perbedaan ini secara sederhana mencerminkan relatif sulit dalam mengidentifikasi kriteria atribut dan memperjelas kepada pembaca.
Tetapi, fakta bahwa kata-kata konkret adalah lebih mudah dihafal dibanding kata-kata abstrak (lihat bab Memory) bisa menjelaskan sebagian kemudahan lebih besar pencapaian konsep konkrit. Selanjutnya, contoh konsep konkret bisa dengan mudah diproses sebagai citra mental dan dengan demikian bisa dicapai lebih baik.
3. Konsep abstrak bisa dipelajari dari berbagai struktur verbal, misalnya, definisi (termasuk atribut kriteria), konteks kalimat, contoh yang dijelaskan, dan sinonim.
Sedangkan konsep dari beberapa tingkat bisa dibentuk dari konteks kalimat dan sinonim, kita memandang penggunaan definisi (memfiturkan atribut kriteria) dan contoh-contoh yang dijelaskan bisa menjadi alat yang lebih reliable dalam mengembangkan konsep yang akurat.
Pemilihan Contoh dan Non-Contoh:
Yang seharusnya diintegrasikan bahwa sepanjang bagian yang berhubungan ini adalah beberapa faktor perceptual, misalnya perhatian yang selektif, pengelompokan golongan yang serupa, dan pemisahan golongan yang berbeda.
o Mempergunakan contoh dan non contoh dalam pembelajaran.
Pada esensinya, contoh menunjukkan apakah konsep itu, dan non contoh menunjukkan apa yang bukan konsep itu. Keduanya adalah penting bagi pemahaman pebelajar terhadap sebuah konsep.
o Memberikan berbagai contoh dalam pembelajaran
Bagaimana konsep dibentuk dari berbagai contoh atau bagaimana mereka disimpan dalam memory adalah isu penelitian yang terus hidup sampai sekarang. Ada bukti bahwa untuk beberapa konsep, paling tidak kita mengembangkan contoh yang dipilih atau prototype, yakni, bunga mawar berpihak kepada konsep ”bunga” dan anjing berpihak kepada konsep ”binatang.” Juga ada bukti bahwa subyek terbuka dengan berbagai rangkaian contoh, misalnya, gambar geometri, muncul membentuk citra memory yang diabstraksikan atau skema yang menggambarkan konsep formal yang kita bisa mengingat atau menyusun daftar pendefinisian atribut verbal, yang mengarahkan beberapa ahli teori untuk menyimpulkan bahwa konsep bisa disimpan sebagai daftar atribur seperti verbal atau sebagai preposisi seperti-verbal.
o Mencoba memilih kelompok contoh melalui atribut kriteria yang menunjuk paling tidak ragam dan atribut non-kriteria menunjukkan sebagian besar perbedaan.
Di sini, logikanya adalah jelas, karena atribut kriteria atau definitif bisa dipahami menjadi apa yang lazim atau mirip melalui semua contoh. Dengan demikian, ada karakteristik yang tidak berubah melalui contoh akan bisa dipahami oleh pebelajar adalah kriteria. Karena itu, contoh seharusnya dipilih sehingga tidak ada perubahan kriteria atribut bisa diamati. Misalnya Gambar 3.2, dalam semua contoh (dalam lingkaran) adalah gambar yang ditutup dan memiliki tiga sisi.
o Mencoba memilih contoh yang atribut kriterianya sejelas mungkin dan atribut non-kriteria adalah tidak senyata mungkin menggambarkan atau menyederhanakan contoh-contoh dalam satu cara untuk mencapai pengaruh yang sama.
Inilah kasus khusus prinsip-prinsip ”memperjelas kriteria atribut” yang dibahas dalam bab terdahulu dengan referensi kepada memory. Tetapi, seperti dengan proses ingatan, ada stimulus manipulasi yang memaksimalkan kriteria atribut, atau meminimalkan non-kriteria atribut akhirnya bisa pudar sehingga pebelajar bisa mengidentifikasi contoh riil dalam konteks riil.
o Memilih pengepungan (perbedaan kecil) non-contoh, misalnya, bahwa memiliki beberapa atribut sama dengan contoh, dan atribut itu berbeda dengan contoh hanya berkenaan dengan satu (atau dua atau tiga) kriteria atribut.
o Memilih contoh yang cukup untuk menunjukkan batas praktek konsep dan non contoh yang cukup untuk mengulas pengepungan contoh paling umum, yakni contoh yang paling sering membingungkan.
o Sebelum belajar kata-kata yang relevan, misalnya nama atribut, dari contoh, atau konsep, bisa mempermudah belajar konsep. Persamaannya akan dipegang terlebih dahulu dengan obyek, event, atau hubungan yang relevan.
o Memberi pengajaran yang tepat kepada pebelajar bisa mempermudah konsep belajar, termasuk informasi tentang stimulus (atribut, dll.), respon yang diinginkan (identifikasi konsep dll.,) dan strategi untuk penerapan.
o Ada bukti bahwa contoh bentuk verbal mempermudah belajar konsep lebih dari belajar dalam bentuk gambar, karena sebelumnya menunjukkan sedikit atribut tidak relevan. Demikian pula, contoh sederhana misalnya penarikan garis, kartun, gambar, dan diagram telah dirasakan lebih efektif dibanding gambar realistis.
o Penggunaan konsep nama dalam hubungan dengan masing-masing contoh yang dipresentasikan mempermudah belajar konsep.
o Mempresentasikan contoh pengepungan suksesi atau secara simultan dalam kelompok kecil, dan menjaga contoh sebelumnya pandangan ketika contoh lain ditambahkan mempermudah akuisisi konsep
o Mempresentasikan definisi sebagai daftar kriteria atribut bisa mempermudah akuisisi konsep lebih dari mempresentasikannya dalam bentuk kalimat khusus.
o Mempresentasikan kriteria atribut (dengan aturan, definisi, atau daftar) atau sebaliknya mengarahkan perhatian kepada mereka dalam contoh meningkatkan pencapaian konsep lebih dari mengharapkan pebelajar untuk menemukannya.
o Dalam menggunakan metode tipe-discovery (sebagaimana dibandingkan dengan metode expository) semakin besar contoh dipersyaratkan secara umum dan kriteria atribut contoh harus semakin sedikit jumlah dan lebih dominan dan nampak pada pebelajar.
o Contoh awal yang dipresentasikan seharusnya se familiar dengan pebelajar dan se representative mungkin konsepnya. Presentasi awal seharusnya mencakup hanya contoh-contoh (bukan non contoh), dan hal ini seharusnya menunjukkan sifat-sifat kriteria tidak seambigu mungkin, dan seharusnya meliputi sedikit mungkin sifat non-kriteria.
o Serangkaian presentasi seharusnya campuran contoh-contoh dan non-contoh. Keduanya seharusnya secara bertahap meningkat kesulitannya, misalnya contoh menjadi lebih beragam (meningkatkan atribut non-kriteria) dan non-contoh menjadi lebih dekat (semakian mirip dengan contoh).
o Memperoleh respon dari pebelajar selama serangkaian presentasi contoh dan non contoh dan memberi feedback pembetulan setelah masing-masing respon.
o Memberikan waktu kepada pebelajar untuk mempelajari contoh-contoh dan non contoh, merespon, mempertimbangan feedback yang ia terima.
o Di mana pebelajar memverbalisasi kriteria atirbut konsep dan/atau konsep nama, belajar ditingkat bila dibandingkan dengan di mana mereka tidak atau di mana mereka memverbalisasikan atribut non-kriteria.
o Di mana pebelajar menempatkan konsep yang baru dibentuk untuk digunakan, konsep akan dipelajari lebih baik.
o Memverifikasi konsep pebelajar dengan mempresentasikan tambahan contoh dan non contoh tidak digunakan selama pengajaran dan menyuruh pebeajar mengidentifikasinya.
o Verifikasi lebih lanjut konsep pebelajar, menyuruh pebelajar mendefinisikan konsep atau menyatakan kriteria atribut.
Rujukan:
Fleming Malcolm and Levi Howard. 1981. Intructional Message Design (Principles From The Behavioral Sciences). New Jerrsey: Indiana University

0 komentar:

Posting Komentar